Akad istishna’ ialah salah satu bentuk transaksi yang dibolehkan oleh para
ulama’ sejak dahulu kala, dan menjadi salah satu solusi islami yang
tepat dalam dunia perniagaan di masa kini.
DEFINISI
Akad
Istishna’ ialah akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1
dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak
ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan
oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya. (Badai’i As shanaai’i oleh Al Kasaani 5/2 & Al Bahrur Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6/185)
HUKUM AKAD ISTISHNA’
Ulama’ fiqih sejak dahulu telah berbeda pendapat dalam permasalahan ini ke dalam dua pendapat:
Pendapat pertama:
Istishna’ ialah akad yang tidak benar alias batil dalam syari’at islam.
Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali dan Zufar salah
seorang tokoh mazhab Hanafi. (Al Furu’ oleh Ibnu Muflih 4/18, Al Inshaf oleh Al Murdawi 4/300, Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114 & Al Bahrur Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6/185)
Ulama’ mazhab Hambali melarang akad ini berdalilkan dengan Hadits Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.”
(Riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i, At Tirmizy, Ibnu Majah, As
Syafi’i, Ibnul Jarud, Ad Daraquthny, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem)
Pada
akad istishna’ pihak ke-2 yaitu produsen telah menjual barang yang
belum ia miliki kepada pihak pertama, tanpa mengindahkan persyaratan
akad salam. Dengan demikian, akad ini tercakup oleh larangan dalam
hadits di atas. (Al Furu’ oleh Ibnu Muflih 14/18 & Al Bahrur Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6/185.)
Sebagaimana
mereka juga beralasan: Hakikat istishna’ ialah menyewa jasa produsen
agar ia mengolah barang miliknya dengan upah yang disepakati. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114)
Pendapat kedua:
Istishna’ adalah salah satu bentuk akad salam, dengan demikian akad ini
boleh dijalankan bila memenuhi berbagai persyaratan akad salam. Dan
bila tidak memenuhi persyaratan salam, maka tidak dibenarkan alias
batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab Maliki &
Syafi’i. (Mawahibul Jalil oleh Al Hatthab 4/514, Al Muqaddmat Al Mumahhidaat 2/193, Al Muhazzab oleh As Syairozi 1/297, Raudhatut Thalibin oleh An Nawawi 4/26.)
Ulama’ yang berfatwa dengan pendapat kedua ini berdalilkan dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan akad salam. Bila
demikian adanya, berdasarkan pendapat ke dua ini, maka dapat
disimpulkan bahwa bila pihak 1 (pemesan) tidak mendatangkan bahan baku,
maka berbagai persyaratan salam harus dipenuhi.
Akan
tetapi bila pihak 1 (pemesan) mendatangkan bahan baku, maka yang
terjadi adalah jual/sewa jasa dan bukan salam, maka berbagai persyaratan
pada akad sewa jasa harus dipenuhi, diantaranya yang berkaitan dengan
tempo pengkerjaan, dan jumlah upah.
Pendapat ketiga:
Istishna’ adalah akad yang benar dan halal, ini adalah pendapat
kebanyakan ulama’ penganut mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama’ ahli
fiqih zaman sekarang. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/138, Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114, & Al Bahrur Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6/185, Suq Al Auraaq Al Maaliyah Baina As Sayari’ah Al Islamiyyah wa An Nuzhum Al Wad’iyyah oleh Dr Khursyid Asyraf Iqbal 448)
DALIL-DALIL
Ulama’ mazhab Hanafi berdalilkan dengan beberapa dalil berikut guna menguatkan pendapatnya:
Dalil pertama: Keumuman dalil yang menghalalkan jual-beli, diantaranya firman Allah Ta’ala:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan
ayat ini dan lainnya para ulama’ menyatakan bahwa hukum asal setiap
perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil
yang kuat lagi shahih alias valid.
Dalil kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.
عَنْ
أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ
أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ
يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ
فِضَّةٍ. قَالَ كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Diriwayatkan
dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab,
lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak
sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia
dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibolehkan. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/115)
Dalil ketiga:
Sebagian ulama’ menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de
facto telah bersepakat alias merajut konsensus (ijma’) bahwa akad
istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu
kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/138 & Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/115)
Dalil keempat:
Para ulama’ di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di
tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain
ibadah:
الأصل في الأشياء الإباحة، حتى يدل الدليل على التحريم
“Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.”
Dalil kelima:
Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan
kepada suatu barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria
yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di
dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para
produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka
masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu
kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak
mengganggu kelangsungan hidup masyarakat. (Badai’i As shanaai’i oleh Al Kasaani 5/3)
Alasan ini selaras dengan salah satu prinsip dasar agama Islam, yaitu taisir (memudahkan):
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ. رواه البخاري
“Sesungguhnya agama itu mudah.” (Riwayat Bukhari)
Dalil keenam:
Akad istishna’ dapat mendatangkan banyak kemaslahatan dan keuntungan,
dan tidak mengandung unsur riba, atau ketidak jelasan/spekulasi tinggi (gharar)
dan tidak merugikan kedua belah pihak. Bahkan sebaliknya, kedua belah
pihak merasa mendapatkan keuntungan. Dengan demikian setiap hal yang
demikian ini adanya, sudah sepantasnya untuk diizinkan dan tidak
dilarang.
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, dapat anda
saksikan bahwa pendapat ketiga lebih kuat, dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dalam
syari’at islam.
HAKEKAT AKAD ISTISHNA’
Ulama’
mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang hakekat akad istishna’, sebagian
dari mereka menganggapnya sebagai akad jual beli barang yang disertai
dengan syarat pengolahan barang yang dibeli, atau gabungan dari akad
salam dan jual-beli jasa (ijarah). (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/139, & 15/84-85 & Badai’i As Shanaai’i oleh Al Kasaani 5/3)
Sebagian
lainnya menganggapnya sebagai akad ijarah (jual jasa) pada awal akad
istishna’ dan setelah produsen selesai dari pekerjaannya memproduksi
barang yang di pesan, akadnya berubah menjadi akad jual beli. (Fathul Qadir Ibnul Humam 7/116)
Menurut
hemat saya, pendapat pertamalah yang lebih selaras dengan fakta akad
istishna’. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen hanya
melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan menyatakan
kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen, dengan
syarat ia mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang olahan yang
diingikan oleh pemesan.
PERSYARATAN AKAD ISTISHNA’
Dengan
memahami hakekat akad istishna’, kita dapat pahami bahwa akad istishna’
yang dibolehkan oleh Ulama’ mazhab Hanafi memiliki beberapa
persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad salam diantaranya:
1.
Penyebutan & penyepakatan kriteria barang pada saat akad
dilangsungkan, persyaratan ini guna mencegah terjadinya persengketaan
antara kedua belah pihak pada saat jatuh tempo penyerahan barang yang
dipesan.
2. Tidak dibatasi waktu penyerahan barang. Bila
ditentukan waktu penyerahan barang, maka akadnya secara otomastis
berubah menjadi akad salam, sehingga berlaku padanya seluruh hukum-hukum
akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah. Akan tetapi kedua
muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan menyelisihinya,
mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu
penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena
demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna’.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu
penyerahan barang pesanan, karena tradisi masyarakat ini tidak
menyelisihi dalil atau hukum syari’at. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/140 & Badai’i As Shanaai’i oleh Al Kasaani 5/3)
3.
Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad
istishna’. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar
dibolehkannya akad istishna’. Telah dijelaskan di atas bahwa akad
istishna’ dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islam yang telah
berlangsung sejak dahulu kala.
Dengan demikian, akad ini hanya berlaku
dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan
dengan skema akad istishna’. Adapun selainnya, maka dikembalikan kepada
hukum asal (Badai’i As Shanaai’i oleh Al Kasaani 5/3, Fathul Qadir oleh Ibnul Humamm 7/115 & Al Bahru Ar Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6//185)
Akan
tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad istishna’ yang
telah saya sebutkan, maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat.
Betapa tidak, karena akad istishna’ bukan hanya berdasarkan tradisi umat
islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk membatasi akad
istishna’ pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan
skema istishna’ saja.
KONSEKUENSI AKAD ISTISHNA’
Imam
Abu Hanifah dan kebanyakan pengikutnya menggolongkan akad istishna’ ke
dalam jenis akad yang tidak mengikat. Dengan demikian, sebelum barang
diserahkan keduanya berhak untuk mengundurkan diri akad istishna’;
produsen berhak menjual barang hasil produksinya kepada orang lain,
sebagaimana pemesan berhak untuk membatalkan pesanannya.
Sedangkan
Abu Yusuf murid Abu Hanifah, memilih untuk berbeda pendapat dengan
gurunya. Beliau menganggap akad istishna’ sebagai salah satu akad yang
mengikat. Dengan demikian, bila telah jatuh tempo penyerahan barang, dan
produsen berhasil membuatkan barang sesuai dengna pesanan, maka tidak
ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan diri dari pesanannya.
Sebagaimana produsen tidak berhak untukmenjual hasil produksinya kepada
orang lain. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humamm 7/116-117 & Al Bahru Ar Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6//186)
Menurut
hemat saya, pendapat Abu Yusuf inilah yang lebih kuat, karena kedua
belah pihak telah terikat janji dengan saudaranya. Bila demikian, maka
keduanya berkewajiban untuk memenuhi perjanjiannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوطِهِمْ. رواه أبو داود والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
“Kaum muslimin senantiasa memenuhi persyaratan mereka.” (Riwayat Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqy dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albany)
KESIMPULAN
Dari
pemaparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa akad istishna’ ialah
akad tersendiri, dan tidak sama dengan akad salam. Dengan demikian,
hukum keduanyapun berbeda. Dan para ulama’ yang membahas kedua akad ini
menyebutkan beberapa perbedaan, akan tetapi menurut hemat saya,
perbedaan yang paling menonjol antara keduanya terletak pada dua
berikut:
1. Obyek akad keduanya; pada akad salam yang menjadi
objek adalah barang semata, tanpa ada proses pengolahan. Sedangkan objek
akad istishna’ ialah barang dan jasa pengolahan barang secara
bersamaan.
2. Waktu pembayaran, pada akad salam, para ulama’ telah
sepakat bahwa pembayaran dilakukan seutuhnya di muka alias tunai.
Sedangkan pada akad istishna’, pembayaran dapat dilakukan di muka dan
juga boleh dilakukan dengan pembayaran terhutang.
Wallahu a’alam bisshawab.
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Sumber : www.pengusahamuslim.com
Akad Istishna
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment